Penyelenggaraan program peningkatan kapasitas dalam rangka Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular di bidang penanganan penyakit zoonotik yang bertajuk Regional Training Course on Detection and Characterization of Brucellosis in Animals di Bogor resmi dimulai pada tanggal hari Senin (12/6). Berlangsung di Kota Bogor, Jawa Barat, mulai tanggal 12 hingga 16 Juni 2023, program ini merupakan bentuk kerja sama antara Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan International Atomic Energy Agency (IAEA). Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas deteksi dan penanganan brucellosis melalui uji laboratorium, pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta internasional yang berasal dari 18 negara, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Iran, Kamboja, Kuwait, Myanmar, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, RRT, Sri Lanka, Suriah, Thailand, Uni Emirat Arab, Vietnam, Yordania,
Brucellosis adalah penyakit yang kerap menyerang hewan ternak, seperti sapi dan kambing, yang disebabkan oleh bakteri Brucella dan merupakan penyakit zoonotik, yaitu dapat berpindah dari hewan ke manusia. Dengan demikian, potensi akan dampak negatif secara ekonomi yang dapat diakibatkan oleh penyakit ini signifikan, terutama bagi kelompok masyarakat atau bahkan negara yang mengandalkan komoditas hewan ternak sebagai salah satu sumber pendapatan. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa manusia dapat terinfeksi penyakit ini juga meningkatkan urgensi terhadap percepatan penanganan brucellosis.
Saat membuka kegiatan program secara resmi, Noviyanti selaku Kepala Biro Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN) Kemensetneg menyatakan bahwa pelatihan ini sangat bermanfaat karena peserta dapat belajar langsung dari para ahli yang berasal dari BRIN dan IAEA, yang sudah memiliki berbagai pengalaman dalam menangani brucellosis. Beliau juga menegaskan bahwa pelaksanaan program pelatihan ini didasari oleh komitmen Indonesia dalam mewujudkan kerja sama dan partnership yang berbasis solidaritas, serta pentingnya kolaborasi semua pihak terkait dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs).
Plt. Direktur Peningkatan Kompetensi BRIN, Yustiar Gunawan, menambahkan bahwa program pelatihan fokus tidak hanya pada teori, tetapi juga praktik di dalam laboratorium dengan total waktu belajar sebanyak 40 jam pelajaran. Hal ini tentunya dapat memperkaya wawasan peserta terkait metode deteksi dan pengawasan bakteri Brucella yang dikembangkan oleh BRIN dan IAEA. Tidak hanya bertambahnya ilmu pengetahuan, Ketua Lembaga Penelitian Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti, juga menekankan bahwa program ini dapat menjadi wadah peserta membangun jejaring dan memperluas koneksi dengan sesama peneliti dari berbagai latar belakang budaya.